Potensi
perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata misalnya udang.
Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein (21%), lemak (0,2%),
vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan
fosfor. Udang dapat diolah dengan beberapa cara seperti udang beku, udang
kering, udang kaleng, dan lain-lain (Goligo, 2009).
Sebagai
penghasil udang dengan nilai ekspor yang tinggi Jawa Timur memproduksi udang
beku sebesar 47.807,788 ton atau setara dengan US$ 368.644.445,41 pada tahun
2005 (Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, 2005). Dari proses pembekuan,
40% dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) (Rekso, 2001). Di
Indonesia udang mengalami proses “cold storage” yaitu bagian kepala,
ekor, dan kulit dibuang sebagai limbah.
Limbah udang
ini dapat mencemari lingkungan di sekitar pabrik sehingga perlu dimanfaatkan.
Selama ini kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kerupuk,
terasi, dan suplemen bahan makanan ternak. Padahal 20-30% limbah tersebut
mengandung senyawa chitin yang dapat diubah menjadi chitosan
(Haryani dkk, 2007).
Chitin dalam cangkang
udang, terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan
garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein
dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk memperoleh chitin
dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi)
dan pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk mendapatkan chitosan
dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Chitosan sangat berpotensi
untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena chitosan memiliki
polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba
(Wardaniati, 2009) dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan
negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain
(Murtini dkk, 2008). Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang
mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein
(Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan
berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Rochima, 2009).
Menurut
Hardjito (2006) pada prinsipnya untuk mengawetkan makanan
membutuhkan chitosan dengan konsentrasi 1,5 % (dalam 1 liter air
dibutuhkan 15 gram chitosan) sedangkan aplikasi chitosan sebagai
bahan pengawet dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pencampuran dan perendaman
pada bahan pangan. Salah satu penelitian tentang aplikasi chitosan
dengan cara perendaman yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh Hardjito
(2006) dan hasilnya menunjukkan bahwa tahu yang telah diberi chitosan
dengan konsentrasi 1,5% mempunyai rasa, bau, tekstur yang hampir sama dengan
tahu tanpa pemberian chitosan, dan tahu mampu bertahan selama tiga hari
yaitu cukup dicelup (dip) selama 5-10 menit dalam larutan chitosan lalu
dipindah ke rendaman air biasa saat pengangkutan.
Menurut Standar
Industri Indonesia (1992) tahu merupakan suatu produk berupa padatan lunak yang
dibuat melalui proses pengolahan kedelai (Glycine sp) dengan cara
pengendapan proteinnya dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan
(Farida, 2002). Suciati (2003) menyatakan bahwa tahu sebagai salah satu
produk olahan patut dikembangkan untuk mengatasi masalah kekurangan protein
bagi masyarakat luas. Hal ini ditunjang oleh harga tahu itu sendiri yang
relatif murah dan terjangkau.
Tahu merupakan
suatu produk yang terbuat dari hasil penggumpalan protein kedelai. Dalam
perdagangan dikenal dua jenis tahu, yaitu tahu biasa dan tahu Cina. Pada
pembuatan tahu Cina, kedelai direbus terlebih dahulu sebelum direndam dan
biasanya mempunyai ukuran lebih besar (Koswara, 1992).
Tahu telah
menjadi daging tiruan di Cina sejak 2000 tahun yang lalu. Kini sudah menyebar
di seluruh penjuru dunia dan menjadi semakin populer. Hal ini terjadi karena
meningkatnya tuntutan pilihan pangan, yang menginginkan makanan segar, sehat
dan tidak terlalu memberatkan lambung, berkalori rendah, protein tinggi,
sedikit manis yang memudahkan penggunaan dalam berbagai hidangan (Winarno,
1993). Standar Industri Indonesia (1992) menyatakan bahwa yang disebut tahu
adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses
pengolahan kedelai (Glycine sp) dengan cara pengendapan proteinnya dengan
atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan (Farida, 2002).
Tahu yang
diproduksi di Kota Batu pada saat ini proses pengolahannya masih dilakukan
secara tradisional. Sehingga daya simpan tahu yang diproduksi memiliki tingkat
keawetan yang cukup rendah. Berdasarkan observasi yang dilakukan terhadap mitra
PKMT, tingkat keawetan tahu yang diproduksi hanya bertahan sekitar 2 hari
setelah diproduksi padahal permintaan konsumen tahu di Kota Batu cukup tinggi.
Oleh karena itu perlu adanya suatu teknologi rekayasa tepat guna dalam hal
pengawetan tahu, yaitu dengan menggunakan chitosan dari kulit udang.
Selain dapat mengawetkan tahu, chitosan dari kulit udang dapat
meningkatkan kadar protein tahu dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh limbah kulit udang sehingga teknologi rekayasa ini diberi nama “Chitosan
++”
- C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah yang kami angkat adalah:
- 1. Apakah pemberian chitosan kulit udang memberikan pengaruh sebagai bahan pengawet tanpa merusak kualitas produk tahu yang diproduksi unit usaha kecil di Kota Batu?
- 2. Apakah pemberian chitosan kulit udang memberikan pengaruh sebagai bahan peningkat kadar protein tahu yang diproduksi unit usaha kecil di Kota Batu?
- 3. Bagaimanakah mekanisme Chitosan ++ dalam proses pengawetan produk tahu?
- 4. Bagaimanakah aplikasi teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet alami yang berbahan dasar kulit udang?
- D. TUJUAN
Teknologi
dilakukan bertujuan untuk:
- 1. Mengetahui pemberian chitosan kulit udang dalam memberikan pengaruh sebagai bahan pengawet tanpa merusak kualitas produk tahu yang diproduksi unit usaha kecil di Kota Batu
- 2. Mengetahui pemberian chitosan kulit udang dalam memberikan pengaruh sebagai bahan peningkat kadar protein tahu.
- 3. Mengetahui mekanisme Chitosan ++ dalam proses pengawetan produk tahu.
- 4. Mengetahui aplikasi teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet alami yang berbahan dasar kulit udang.
E. LUARAN
YANG
DIHARAPKAN
- Menghasilkan produk teknologi rekayasa Chitosan ++ sebagai pengawet alami pada tahu yang dapat meningkatkan kualitas produk tahu dari segi gizi ataupun organoleptik.
- Hak paten produk pengawet alami Chitosan ++ yang berbahan dasar limbah kulit udang.
- F. KEGUNAAN
Kegunaan yang
diharapkan dari teknologi ini adalah:
- Secara Praktis
- Memberikan solusi kepada masyarakat mengenai pengolahan limbah khususnya limbah kulit udang dengan memanfaatkannya sebagai bahan pengawet alami produk tahu.
- Memberikan informasi dan pelatihan bagi unit masyarakat usaha kecil pembuat tahu tentang bahan pengawet tahu secara alami.
- Secara Teoritis
- Memberikan penguatan konsep mata kuliah invertebrata sebagai bentuk penerapan dalam bidang teknologi terapan.
- Sebagai model terapan teori dasar-dasar ilmu gizi yang diaplikasikan dalam bentuk pengawet alami pada tahu.
G.
TINJAUAN PUSTAKA
G.1 Kulit Udang
Knorr et al
(1988) menyatakan bahwa cangkang kulit udang yang keras mengandung 34,9 %
protein, 27,6 % mineral kalsium karbonat (CaCO3), 18,1 % chitin dan 19,4
% komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein. Kulit udang juga
mengandung karoten astaksantin 0,02 % (Harini, 2003).
Kulit udang
terdiri atas empat lapisan, yaitu : epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan
epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada lokasinya, di
daerah kepala tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian pangkal kaki hanya
5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7% zat anorganik yang mengandung 98,5%
kalsium. Pada waktu moulting chitin dan protein dari kulit yang lama
lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum moulting
epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula yang lama,
kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan
tertimbun ke dalam eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut
menjadi sempurna. Pertukaran kalsium antara cairan tubuh dengan air laut
berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap dan 79% dikeluarkan (Darmono,
1993).
G.2 Chitin dan
Chitosan
Kata ”kitin”
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”chiton”, yang berarti baju rantai
besi. Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu
ekstrak jamur yang dinamakan ”fugine”. Pada tahun 1823, Odier
mengisolasi suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama
”chitin” (Firdaus dkk, 2009). Pada umumnya chitin di alam tidak
berada dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan
berbagai macam pigmen.
Walaupun chitin
tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan lebih
lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara
komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin,
namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah
hasil dari pembuatan udang (Mudhzz, 2010).
Chitin (C8H13NO5)n
merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa dan mempunyai rumus
kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-β-D-Glukosa) dengan ikatan β-glikosidik (1,4)
yang menghubungkan antar unit ulangnya. Chitin tidak mudah larut dalam
air, sehingga penggunaannya terbatas. Namun dengan modifikasi struktur
kimiawinya maka akan diperoleh senyawa turunan chitin yang mempunyai
sifat kimia yang lebih baik (Srijanto dan Imam, 2009). Salah satu turunan
chitin adalah chitosan (C6H11O4N)n
suatu polisakarida linier dengan komposisi glukosamin. Chitosan
mempunyai rumus kimia poli (2-amino2-dioksi-β-D-Glukosa) dan dapat dihasilkan
dengan proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat (Srijanto dan
Imam, 2009). Chitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau
dan tidak berasa. Kadar chitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70
% dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20 %
(Wardaniati, 2009).
Menurut
Hardjito (2009) chitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan
bedanya terletak pada gugus rantai C-2 dimana gugus hidroksi (OH) pada C-2
digantikan oleh gugus amina (NH2). Proses utama dalam pembuatan chitosan,
meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang
disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing
dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan
diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam
larutan basa (Mudhzz, 2010). Karakteristik fisiko-kimia chitosan
berwarna putih dan berbentuk kristal, chitosan mempunyai sifat biodegradabel
yaitu mudah terurai secara hayati, tidak beracun, dapat larut dalam
larutan asam organik encer, tetapi tidak larut dalam air, larutan alkali pada
PH di atas 6,5 dan pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik
adalah asam asetat (Mahmiah, 2005).
Menurut Harini
(2003) molekul chitosan bersifat lebih kompak dibandingkan dengan
polisakarida lainnya apabila berada dalam larutan asam encer dengan kekuatan
ionik rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh densitas muatan yang tinggi. Di
dalam larutan berionik tinggi atau bila ke dalam larutan ditambahkan urea,
ikatan hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul chitosan terganggu,
konformasinya menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul
ini menjadikannya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun memanjang
(polisakarida lain umumnya berbentuk memanjang).
Adanya gugus
fungsi hidroksil primer dan sekunder mengakibatkan chitosan mempunyai
kereaktifan kimia yang tinggi. Gugus fungsi yang terdapat pada chitosan
memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam termasuk
reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat
memungkinkannya chitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik,
yaitu plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.
Jika sebagian
besar gugus asetil pada chitin disubsitusikan oleh hidrogen menjadi
gugus amino dengan penambahan basa konsentrasi tinggi. NaOH 50% dapat digunakan
untuk deasetilasi chitin dari limbah kulit udang, maka hasilnya
dinamakan chitosan atau chitin terdeasetilasi. Chitosan
sendiri bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang
terdeasetilasi sebagian dengan derajat deasetilasi beragam.
Chitosan dapat
diperoleh dengan mengkonversi chitin, sedangkan chitin sendiri
dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam tiga
tahap yaitu: tahap demineralisasi, penghilangan mineral; tahap deproteinasi,
penghilangan protein; dan tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan
chitosan diperoleh dengan deasetilasi chitin yang didapat dengan
larutan basa konsentrasi tinggi. Deproteinasi menggunakan natrium
hidroksida lebih sering digunakan, karena lebih mudah dan efektif. Pada
pemisahan protein menggunakan natrium hidroksida, protein diekstraksi sebagai
natrium proteinat yang larut.
Pembuatan chitosan
dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada
gugusan asetil amino chitin menjadi gugus amino bebas chitosan
dengan menggunakan larutan basa. Chitin mempunyai struktur kristal yang
panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga
pada proses deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi
40-50% dan suhu yang tinggi (100-150oC) untuk mendapatkan chitosan dari
chitin.
Reaksi
pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu
amida oleh basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai
basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- masuk ke dalam gugus
NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga
dihasilkan suatu amida yaitu chitosan.
0 komentar:
Posting Komentar